[Bahasa translation below]
Two more unarmed West Papuan civilians have been killed by the Indonesian military in the Nduga Regency. As the 2001 Special Autonomy law expires this year, this is yet more evidence of Jakarta’s genocidal intent in West Papua. There can be only one solution this year: a referendum and independence for my people.
Elias Karunggu (40) and Seru Karunggu (20), father and son, were shot dead in cold blood on Saturday July 18. They had already been displaced from their homes for months due to the brutal Indonesian military operations that have been ongoing in Nduga since December 2018.
We had hoped that the Covid-19 situation would make the Indonesian police and military stop their murderous repression and concentrate on the medical crisis spreading across the world. Instead, Jakarta has only used the crisis as a cover for its war against the existence of Melanesian West Papuans. Last month even more troops were deployed to West Papua – for what? There is only one purpose in such militarisation: ethnic cleansing and genocide. Over 45,000 people have been displaced in Nduga since December 2018.
These military operations must stop immediately. I’m calling for the Indonesian president to immediately withdraw all troops from West Papua and allow ordinary people, who have been internally displaced in their own land, to resettle in their villages peacefully. The hospitals and schools are still not functioning, and women, men and children are still displaced. This is a double crisis for the people of Nduga: a humanitarian crisis caused by the Indonesian military, and a Covid-19 crisis made worse by the colonial destruction of health care and our way of life.
I’m calling on all my people to unite. Collectively, whether you are a civil servant, ordinary West Papuan, or Indonesian born in West Papua, everyone must unite to refuse the new autonomy law and to hold a referendum. Today, you are choosing your destiny and the destiny of the generations to come. Indonesia is clearly trying to systematically wipe out the population, and as last year showed, racism and discrimination are embedded within Indonesia’s colonial project. We must unite and act now. This is my call.
To the whole world, particularly the governments of the Melanesian countries, the Pacific Islands Forum, EU, and the United Nations: don’t support a new autonomy law in West Papua. If you do, you are indirectly or directly supporting the Indonesian government’s murder of my people, as happened to Elias Karunggu and Seru Karunggu on Saturday. We don’t want to suffer the same fate as the Indigenous people of Australia and North America. We don’t want our environment to be irreversible destroyed and polluted by the Indonesian occupation. You must all support our cry for freedom, before it is too late.
To our solidarity groups across the world, please continue to support us. People across Indonesia are beginning to wake up and support my people as Black Lives Matter movement becomes Papuan Lives Matter. We need everyone’s solidarity, concern and support now.
Indonesia, there is no other solution to this 57-year-old problem. We will not give up until we win a referendum on independence. Every Papuan murdered by the Indonesian military only makes us more determined, and gives us more strength.
Benny Wenda
Chairman
ULMWP
Ketua ULMWP: Pembunuhan baru di Nduga menunjukkan bahwa kemerdekaan adalah satu-satunya solusi untuk Papua Barat
22 Juli 2020
Jumlah rakyat Papua Barat yang tidak bersenjata yang mati dibunuh oleh tentara Indonesia di Kabupaten Nduga bertambah dua jiwa. Pembunuhan ini, beserta dengan habis berlakunya undang-undang tentang otonomi khusus pada tahun ini, adalah bukti dari niat Jakarta untuk menghabisi rakyat Papua Barat. Pada tahun ini, hanya ada satu solusi: sebuah referendum dan kemerdekaan untuk rakyat Papua Barat.
Elias Karunggu (40 tahun) dan Seru Karunggu (20 tahun), ayah dan anak, ditembak mati pada hari Sabtu, 18 Juli 2020. Mereka dipaksa mengungsi dari rumah mereka selama berbulan-bulan karena brutalitas operasi militer Indonesia yang sudah berlangsung di Nduga sejak Desember 2018.
Pada awalnya, kita berharap bahwa pandemi COVID-19 akan memaksa polisi dan tentara Indonesia untuk menghentikan represi brutal mereka, agar mereka bisa memfokuskan diri untuk menangani krisis kesehatan ini. Namun, Jakarta malah menggunakan krisis ini sebagai kedok untuk melanjutkan perang mereka dalam menghabisi rakyat Melanesia Papua Barat. Bulan lalu, semakin banyak tentara Indonesia yang dikerahkan ke Papua Barat – untuk apa? Hanya ada satu alasan untuk militerisasi semacam ini: pembersihan etnis dan genosida. Lebih dari 45000 jiwa dipaksa mengungsi dari rumah mereka di Nduga sejak Desember 2018.
Operasi-operasi militer ini harus dihentikan secepatnya. Saya menyerukan kepada Presiden Indonesia agar semua tentara Indonesia di Papua Barat dipanggil kembali, dan agar rakyat biasa, yang terpaksa mengungsi di tanah mereka sendiri, diperbolehkan untuk kembali ke desa-desa mereka secara damai. Rumah sakit dan sekolah-sekolah di sana masih belum berfungsi, dan rakyat Nduga masih belum bisa kembali ke rumah mereka. Ini adalah krisis ganda untuk rakyat Nduga: krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh tentara Indonesia, dan krisis COVID-19 yang diperparah oleh penjajahan brutal yang menghancurkan sistem kesehatan dan cara hidup kita.
Saya berseru, kepada semua rakyatku, bersatulah! Entah engkau pegawai negeri, rakyat biasa, ataupun orang Indonesia yang lahir di Papua Barat, semua harus bersatu untuk menolak undang-undang otonomi baru dan menuntut diadakannya referendum. Pada hari ini, engkau akan menentukan nasibmu dan nasib generasi-generasi yang akan datang. Indonesia secara terang-terangan berniat untuk menghabisi rakyat Papua secara sistematis, dan kejadian-kejadian pada tahun lalu menunjukkan bahwa rasisme dan diskriminasi sudah tertanam di dalam proyek kolonial Indonesia. Kita semua harus bersatu dan bertindak sekarang. Ini seruanku kepada kita semua.
Kepada dunia internasional, khususnya kepada pemerintahan negara-negara Melanesia, Forum Kepulauan Pasifik, Uni Eropa dan Persatuan Bangsa-Bangsa: jangan mendukung undang-undang otonomi baru di Papua Barat. Jika kalian mendukung undang-undang baru ini, sama saja kalian secara langsung dan tidak langsung mendukung pembunuhan rakyat Papua oleh pemerintahan Indonesia, seperti pembunuhan Elias Karunggu dan Seru Karunggu pada hari Sabtu kemarin. Kami tidak mau mengalami nasib yang sama seperti rakyat pribumi di Australia dan Amerika Utara. Kami tidak mau lingkungan kami dihancurkan dan dicemarkan oleh penjajahan Indonesia. Kalian semua harus mendukung seruan kami untuk merdeka, sebelum terlambat.
Terhadap semua kelompok solidaritas kami di seluruh dunia, kami mohon agar kalian terus mendukung kami. Rakyat Indonesia mulai sadar dan mendukung rakyat Papua Barat, dan di Indonesia gerakan Black Lives Matter mulai berkembang menjadi suatu gerakan Papuan Lives Matter. Pada saat ini, kami memerlukan solidaritas, perhatian dan dukungan dari kalian semua.
Kepada Indonesia: tidak ada solusi lain untuk masalah ini, yang sudah berlangsung selama 57 tahun. Kami tidak akan menyerah sampai diberikan referendum untuk menentukan kemerdekaan Papua Barat. Setiap rakyat Papua yang dibunuh oleh tentara Indonesia hanya menambah tekad dan keyakinan kami, dan membuat kami bertambah kuat.
Benny Wenda
Ketua
ULMWP